Aku benar – benar ingin mati. Bukan
karena putus asa, bukan karena aku menderita, tetapi karena aku sangat ingin
berhenti berjalan, ataupun melihat semua ilusi yang ada di dunia fana ini.
Tapi, Emily? Tidak... aku tak akan pernah mau meninggalkannya. Adikku, Emily
harus tetap hidup meskipun dia buta. Dibalik kebutaan Emily, dia memiliki hati
yang dapat merasa sesuatu dengan jernih.
“Tristan?”
“Tidurlah
dahulu, aku tidak ingin tidur sekarang” Emily pasti memastikan apakah aku sudah
tidur atau belum. Emily terdiam di tempat tidurnya, kami berada dalam satu
kamar tetapi tidur di ranjang yang berbeda.
...
Aku mencoba
tidak panik. Meskipun beliau sudah tiada selama tujuh tahun terakhir, aku masih
benar – benar ingat keteduhan dan ketenangan hati Ayah yang membuatku
terinspirasi. Manusia selalu mendapat takdir yang baik, pikiran dan perasaan
kitalah yang membuatnya buruk.
Emily
menghilang! Dia tidak berada di tempat tidur. Kemana gadis kecilku? Anak
berumur dua belas tahun dalam kondisi buta tak mungkin dibiarkan saat fajar
begini.
“Emily?!!!!..”
aku berteriak di depan pintu rumah.
“Dia
menangis” bibi Kane muncul sambil berkata lirih kepadaku – sepertinya ada air
mata yang terbendung. Dia berjalan mendekatiku, “Doakan ibumu selamat, nak...
maaf aku terlalu tua untuk mengejar adikmu, percayalah mata hatinya tak akan
membuatnya tersesat, aku harus mengurus suamiku yang sakit dan ketiga cucuku”
“Terima
kasih atas segalanya bibi Kane”, aku berusaha menutupi kepanikan – tapi pasti
mataku tetap menunjukkannya.
Aku
berlari menuju pantai yang jaraknya hanya dua ratus meter dari rumah, lampu
kafetaria di sekitar pantai ini pun belum hidup. Aku tidak tahu kenapa aku rinduku
sedang menggebu – gebu kepadanya, biasanya sehabis bangun tidur aku melihat
wajahnya, tapi sekarang tidak – seperti ada yang kurang. Aku termotivasi bukan
karena takut Emily akan tersesat, diganggu oleh orang jahat yang biasa berada
di bar sekitar pantai sepanjang malam, ataupun kecelakaan ketika menyebrang –
aku benar – benar merindukannya.
“Tristan!”
syukurlah, Emily masih selamat dan anehnya dia memanggil dari belakangku, aku
menoleh dan mengikutinya – sampai akhirnya aku sadar, bahwa itu khayalan, aku
tak sadar aku menyebrang, sebuah mobil truk siap menabrakku.
...
Aku
terbangun dan tentu saja ruangan yang seperti ini hanya ada di rumah sakit.
“Tentu semua ada hikmahnya”, astaga
– aku terharu mendengar suaranya yang penuh cinta.
“Ibu!”
air mataku menetes deras, empat hari tidak bertemu dengan Ibu, rindu ini
terbendung.
“Tepat
hari ini, seseorang meninggal di rumah sakit ini, dia pernah berwasiat jika di
hari dimana ia meninggal ada seorang pasien ataupun pengunjung yang buta, maka
ia bersedia matanya di donorkan. Emily sedang di operasi, nak!”
Berita
itu membakar rasa sakit yang membakar tubuhku. Aku benar – benar tak terbakar
rasa sakit lagi!
“Selamat
ulang tahun yang ke lima belas, Tristan” rambut coklatku dibelai, aku makin
bahagia. Aku menutup mata, berdoa dan berharap. Membuka mata dan.... kenapa
orang – orang yang kusayang menghilang? “Ibu!!!!”
Seorang
dokter datang kepadaku, “Maaf... Ibu anda sudah memberikan matanya kepada adik
anda, siang tadi bus yang ibu anda tumpangi kecelakaan, anda harus sabar
menerima takdir bahwa ibu anda satu – satunya korban jiwa dalam kecelakaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar