Laman

Selasa, 01 Juli 2014

Datang dan Pergi

 Aku benar – benar ingin mati. Bukan karena putus asa, bukan karena aku menderita, tetapi karena aku sangat ingin berhenti berjalan, ataupun melihat semua ilusi yang ada di dunia fana ini. Tapi, Emily? Tidak... aku tak akan pernah mau meninggalkannya. Adikku, Emily harus tetap hidup meskipun dia buta. Dibalik kebutaan Emily, dia memiliki hati yang dapat merasa sesuatu dengan jernih.
            “Tristan?”
            “Tidurlah dahulu, aku tidak ingin tidur sekarang” Emily pasti memastikan apakah aku sudah tidur atau belum. Emily terdiam di tempat tidurnya, kami berada dalam satu kamar tetapi tidur di ranjang yang berbeda.
                                                            ...
Aku mencoba tidak panik. Meskipun beliau sudah tiada selama tujuh tahun terakhir, aku masih benar – benar ingat keteduhan dan ketenangan hati Ayah yang membuatku terinspirasi. Manusia selalu mendapat takdir yang baik, pikiran dan perasaan kitalah yang membuatnya buruk.
            Emily menghilang! Dia tidak berada di tempat tidur. Kemana gadis kecilku? Anak berumur dua belas tahun dalam kondisi buta tak mungkin dibiarkan saat fajar begini.
            “Emily?!!!!..” aku berteriak di depan pintu rumah.
            “Dia menangis” bibi Kane muncul sambil berkata lirih kepadaku – sepertinya ada air mata yang terbendung. Dia berjalan mendekatiku, “Doakan ibumu selamat, nak... maaf aku terlalu tua untuk mengejar adikmu, percayalah mata hatinya tak akan membuatnya tersesat, aku harus mengurus suamiku yang sakit dan ketiga cucuku”
            “Terima kasih atas segalanya bibi Kane”, aku berusaha menutupi kepanikan – tapi pasti mataku tetap menunjukkannya.
            Aku berlari menuju pantai yang jaraknya hanya dua ratus meter dari rumah, lampu kafetaria di sekitar pantai ini pun belum hidup. Aku tidak tahu kenapa aku rinduku sedang menggebu – gebu kepadanya, biasanya sehabis bangun tidur aku melihat wajahnya, tapi sekarang tidak – seperti ada yang kurang. Aku termotivasi bukan karena takut Emily akan tersesat, diganggu oleh orang jahat yang biasa berada di bar sekitar pantai sepanjang malam, ataupun kecelakaan ketika menyebrang – aku benar – benar merindukannya.
            “Tristan!” syukurlah, Emily masih selamat dan anehnya dia memanggil dari belakangku, aku menoleh dan mengikutinya – sampai akhirnya aku sadar, bahwa itu khayalan, aku tak sadar aku menyebrang, sebuah mobil truk siap menabrakku.

                                                                        ...

            Aku terbangun dan tentu saja ruangan yang seperti ini hanya ada di rumah sakit.
“Tentu semua ada hikmahnya”, astaga – aku terharu mendengar suaranya yang penuh cinta.
            “Ibu!” air mataku menetes deras, empat hari tidak bertemu dengan Ibu, rindu ini terbendung.
            “Tepat hari ini, seseorang meninggal di rumah sakit ini, dia pernah berwasiat jika di hari dimana ia meninggal ada seorang pasien ataupun pengunjung yang buta, maka ia bersedia matanya di donorkan. Emily sedang di operasi, nak!”
            Berita itu membakar rasa sakit yang membakar tubuhku. Aku benar – benar tak terbakar rasa sakit lagi!
            “Selamat ulang tahun yang ke lima belas, Tristan” rambut coklatku dibelai, aku makin bahagia. Aku menutup mata, berdoa dan berharap. Membuka mata dan.... kenapa orang – orang yang kusayang menghilang? “Ibu!!!!”
            Seorang dokter datang kepadaku, “Maaf... Ibu anda sudah memberikan matanya kepada adik anda, siang tadi bus yang ibu anda tumpangi kecelakaan, anda harus sabar menerima takdir bahwa ibu anda satu – satunya korban jiwa dalam kecelakaan itu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar