Aku berlindung
dari godaan syaitan yang terkutuk. Tuhan memberiku Nikmat yang luar biasa!
Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin kita dustakan?
Mungkin ini tak segila dunia fantasi. Tapi,
bagaimana mungkin ada perempuan menangis di tengah lapangan sekolah dan
ditonton puluhan temannya? Ya! Dia Sheila Nabila, siswi kelas XII di salah satu Sekolah Muslim ternama di
negeri ini. Teman akrabnya pun tak berani mendekatinya, mungkin air mata Sheila
berkata Biarkan aku sendiri dulu!.
Imran sangat heran, dia belum pernah melihat
orang seunik ini. Well, Imran
sebenarnya adalah kakak senior Sheila, tetapi Imran harus cuti satu tahun untuk
mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat sehingga Imran pun harus
menjadi teman kelas Sheila di kelas XII.
“Dia tetap terlihat bersih ya, meskipun bajunya
jorok kena debu” Imran memulai pembicaraan dengan temannya, Keanu.
“Haha... entahlah, itu cewe emang aneh” Keanu
membalas
“I’m
crazy and I’m so proud!”, oh tidak! Sheila berbicara dengan keras dan
lantang sambil tetap dalam posisi agak menunduk. Ok well, Keanu sudah mulai kikuk.
“Ya Ampun... Dia benar-benar mendengar dengan
hati yang jernih, ya?” Imran sedikit menganga.
“Thanks ya buat pujiannya kak!” Sheila tetap
bisa dengar meskipun suara Imran lebih pelan dari suara Keanu tadi. Seketika
air mata Sheila berhenti. Dia menutup matanya sejenak, sambil mengucapkan
sesuatu (... mungkin berkomat-kamit
membaca mantra?) Sheila menarik nafas panjang tiga kali dan tadaa! Sheila membuka mata sambil senyum
kepada jiwanya sendiri. Dia berjalan layaknya anak kecil yang bakal jadi
pendekar wanita berkuda di masa mendatang. Teman-teman di sekolah terkejut
melihat tingkah lakunya. Tapi itulah Sheila.
Tepat pukul 16.00, Sheila sampai di rumah. Ada
secangkir teh yang masih hangat, pasti itu punya nenek! Sheila mulai mengintrospeksi hari ini. Hari
ini dia menangis di tengah lapangan untuk pertama kalinya. Jika kau bertanya
padanya, tentu dia tak akan memberi tahumu meskipun kau adalah sahabat
terdekatnya. Sheila memang begitu, bisa menangis sendiri secara tiba-tiba.
Sheila pergi keluar kamar, dan duduk di depan
televisi tanpa ingin menyentuh tombol power.
“Hei! Ada cerita apa hari ini?” Nenek bertanya
dengan nada ramahnya.
“Wah.. pasti seru nek, salah satunya Sheila
dapat nilai 78 dalam Ujian Matematika bulan ini, nek!”
“Apa?!.
Tujuh puluh delapan? Gak salah dengar?” Kalau soal ekspresi terkejut nenek yang
lebai memanglah wajar. Biasanya Sheila mendapat nilai lebih dari 90 dalam Ujian
Matematika, disamping teman sekelasnya mendapat nilai berkisar antara 75 dan 80
. Sekolah tempat Sheila belajar benar-benar memiliki standar yang tinggi dalam
ilmu pengetahuan.
“Iya. Hihii!” Sheila tersipu malu.
“Sheila
gak ada mulai pacaran kan?”
“Memulai cinta yang semu ya, nek? Enggak lah!”
“Trus
kok bisa tujuh puluh delapan?
“Ya bisa dong, santai aja nek.. Kadang kita
berada di bawah kok” Sheila pun menjawab sambil tersenyum.
Sheila melanjutkan, “Oh iya nek! Duduk sini
dulu yuk! Sheila mau ngomong sesuatu”
Nenek
pun berjalan mendekat, “Seperti ada yang ganjil nih!”
“Sheila minta penjelasan tentang
asal usul Sheila!”
“Asal
usul apaan?” Mata nenek mulai was-was
“Sheila gak puas kalau cuma tahu
nama dan wajah dari foto ayah dan mama lima belas tahun yang lalu”
“Mau Sheila apa? Kan sudah jelas
nenek adalah ibunya mama kamu. Ayah meninggal di Singapura dalam perjalanan
menuju bandara untuk pulang, mama dulu meninggal diiringi lahirnya adik kamu
yang nyawanya juga gak bisa diselamatkan” Nenek berbicara sangat ekspresif dan Sheila
menatap mata nenek selama beberapa detik.
Seketika Sheila langsung memeluk
nenek, bukan untuk menangis atau bersedih, tetapi Sheila bersyukur masih bisa
hidup bersama nenek. Dan nenek pun tahu itu!
“Kita gak pernah sendirian, ada Yang
Maha Melihat”, Nenek meneteskan air mata dan langsung menghapusnya.
...
Sheila datang dengan ekspresi ceria
– semua mata tertuju padanya. Sheila tak merasa risih sedikitpun. Tiba-tiba
Imran datang, “Sheila! Semangat buat menempuh studinya ya!”
“Loh... kok tumben, kak? Tiba-tiba datang
langsung ceplos gitu”
“Kan
bagus, supaya kamu terbiasa dengan sesuatu yang tak terduga, hihi..”
Bel
berbunyi, mereka berdua masuk kelas bersama, diiringi tatapan aneh Tiara yang
duduk di bangku paling depan. Tentu saja, Sheila dan Imran yang selalu berpikir
positif tak menyadari itu – sehingga mereka tidak membuang aura cerah mereka.
“Ya ampun, 2 bulan lagi udah Ujian
Nasional loh!” Febby berkata dengan ekspresi uniknya.
“Kita sih rapopo” Keanu berkata
dalam ekspresi datar – anehnya kenapa satu kelas bisa tertawa ya?
“Aku yakin! Nanti Tiara dan Sheila
bakalan dapat nilai sepuluh dalam matematika, kak Imran di bahasa inggris” Ayu
berkata di tengah kelas dan menjadi sorot perhatian.
“Ahh! Pasti kita semua dapat yang
terbaik kok!” Imran berkata dengan lugas.
Satu kelas berteriak, “Aamiin!”
Bapak
ketua yayasan melewati koridor sekolah – seketika suasana kelas menjadi hening.
“Ehh! Sheila...” Febby ingin
mengatakan sesuatu yang ia sendiri tak tahu apakah ini kabar gembira atau kabar
sedih untuk Sheila
“Iyo, Feb?” Sheila menjawab dengan
santai.
“Ahh... gak jadi deh!” Febby
memaksakan diri untuk tertawa.
“Haah! Jangan jadi misterius kaya kak
Imran ya, Feb!”
“Apa?” Imran mendengar percakapan
mereka
“Adaww! Imran bukan misterius!
Bahasa Imran terlalu tinggi dan bermakna, jadinya bocah kaya lu pada gak
ngerti. Hahaa!” Keanu berkata dengan keras – Yakinlah! Bapak ketua yayasan
mendengar.
“Waduh! Si bapak berhati malaikat
udah pergi belum?” Ayu bertanya meskipun ia sendiri tahu kalau Bapak ketua
yayasan yang ia juluki bapak berhati malaikat sudah pergi.
***
Hujan turun menyamarkan suara bel
pulang sekolah. Tapi, pelajar mana yang tidak tanda dengan khas bunyi bel
istirahat sekolahnya? Murid yang tak sedia payung, mantel, dan jemputan mobil
sebelum pulang masih berada di sekolah karena dihambat hujan.
“Hujan itu indah, tapi jadi susah
untuk pulang nih!” Sheila berbicara kepada Febby.
Tetapi
Imran yang menjawab, “Mungkin ada takdir fantastis yang tak akan kita dapatkan
kalau kita sekarang juga sudah dalam perjalanan pulang”
Bibir Febby, Ayu, Keanu dan Sheila dikunci
rapat oleh perkataan Imran yang dalam.
Disaat
yang lain menatap hujan dari koridor, Keanu menoleh ke belakang, Tiara masih
duduk sendirian di bangkunya, “Ehh.. Tiara! Ngapain disitu? Mau nyusun rencana
buat ngejatuhi Sheila?”
Tiara membanting buku! Tak
segan-segan kursi pun ditendangnya! Tiara menatap tajam Keanu. Teman yang
menunggu di depan kelas terkejut
“Ehh.. apa-apaan ini?” Ayu datang
menghampiri Tiara
“Jangan
dekat-dekat!” Tiara berkata ketus.
“Santai aja! Ayu itu banyak fansnya,
seharusnya kamu yang jangan dekat-dekat ke dia!” Untuk pertama kalinya, Febby
berkata dengan nada yang sangat tinggi.
“Udahlah...” Mata Sheila mulai
berkaca-kaca
Imran mengambil bagian, “Aku gak
tahu apa yang terjadi satu tahun yang lalu di kelas kalian. Tapi kenapa waktu
itu Tiara ngambil buku Bahasa Indonesia milik Sheila diam-diam dan membasahi
dengan air lalu dibuang ke tong sampah. Lalu, kenapa Tiara bohong ke Sheila
kalau waktu itu akan ada ulangan matematika yang satu hari sebelumnya sudah
diumumkan saat pulang, tepatnya saat Sheila sedang di toilet”
“Di kelas XI kertas ujian Fisika
Sheila dirobek sama si cewek ini!” Ayu membuat Tiara makin takut.
“Hahaa.. bisa jadi semester lalu
nilai rapor Sheila dikasih bumbu modifikasi. Kan, yang menulis nilai rapor dia!
Kaya gini ya murid kepercayaan wali kelas?” Keanu menimpal.
Tiara melempar buku ke kepala Keanu.
“Udahh!!!
Jangan buat suasana tegang kaya gini!” Sheila berteriak.
Dengan emosi luar biasa, Tiara
membuka tutup botol minuman dan.... Sheila sudah basah kuyup di siram Tiara dan
seketika itu Tiara melempar botol sekeras mungkin ke wajah Sheila.
“Hei!” Ayu dan Febby berteriak,
Tiara kabur. Seketika Keanu berlari memeluk kaki Tiara dan mereka berdua
terjatuh. Siku Keanu dan dagu Tiara berdarah.
Febby
mengambil kendali tangan Tiara dan tak ada yang menyangka Febby bisa seagresif
ini.
“Lepasin! Apa mau kalian?” Tiara
berteriak kesakitan, Ayu juga ikut memegangi Tiara.
“Aduh..
gak pakai kekerasan kaya gini juga!” Imran mulai mengalirkan rasa paniknya.
“Kalian gak akan ngerti!” Tiara
semakin ganas
“Biarkan Tiara bicara!” Imran membuat
keputusan bijak.
“Aku
gak mau hidup kaya gini” Tiara mulai diam seiring air matanya mengalir.
“Sheila bisa mendapatkan apapun!
Tapi, aku enggak!” Tiara menangis dan teriak – dua tiga orang mendekat. Ayu dan
Febby melepaskan pegangannya ke tubuh Tiara. Tiara pun mengambil posisi duduk
bersandar.
“Aku juga mau liburan ke luar negeri
kaya Febby, aku juga mau disukai banyak orang lebih dari Ayu, aku juga mau
mendapat banyak sahabat seperti Keanu” Tiara mencurahkan isi hatinya semakin
dalam – Keanu, Febby, dan Ayu bertatapan satu sama lain.
Tiara melanjutkan, “Aku juga mau
kaya Sheilaaa!!!” Tiara menangis semakin keras.
“Semua
orang sayang Sheila meskipun dia agak aneh, semua laki-laki yang aku suka pasti
dekat dengan Sheila. Sheila punya banyak prestasi dan mendapat beasiswa. Kalau
ada kerja kelompok pasti semua berdoa supaya bisa bergabung dalam satu tim
dengan Sheila...... “
“Karena dia membangkitkan semangat?”
Imran tahu apa yang harus ia katakan.
“Lebih
dari itu! Semua orang juga pasti sayang dia! Kalaupun dia tak punya prestasi
akademis sedikitpun, ataupun kecantikan wajahnya hilang!. Tapi kalau aku?
Meskipun aku jenius tetap gak ada yang nyayangi aku” Tiara menangis keras
hingga orang-orang berdatangan.
Sheila menarik nafas yang dalam, “Tapi
aku tidak sepertimu. Yang memiliki orang tua yang lengkap, punya kakak dan adik
yang sepasang. Kamu memiliki keluarga yang utuh. Sejak kecil aku sudah
kehilangan orang tua, ibuku meninggal di usia tiga tahun, lima bulan kemudian
ayahku dipanggil Tuhan. Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin kamu dustakan?”
Semuanya hening, sepertinya Imran
dapat inspirasi baru dalam proyek menyelesaikan Novel Fantasinya.
***
Ketika kamu menikmati, tanpa sadar
waktu berlalu begitu cepat. Seluruh ujian kelulusan sudah berlalu, hari ini
adalah acara perpisahan dan kelulusan Tiara sudah memiliki pola hidup baru,
Imran mendapatkan beasiswa penuh di universitas ternama milik Singapura. Sheila,
Febby, Ayu dan Keanu lulus SNMPTN dan kuliah di kota yang sama.
Di depan masjid sekolah, Sheila
duduk sendirian – kini berdua, setelah Imran menghampiri.
“Kenapa disini? Lulusan terbaik
bakal memberikan pidato nanti tuh!”
“Handphone
Sheila, mmm... lagi di charger di dalam masjid, duluan aja, kak”
“Oke! Beri yang spektakuler ya!” Imran
berjalan cepat menuju aula.
Sudah lima belas menit acara berlalu,
mungkin satu menit lagi adalah pengumuman lulusan terbaik. Ternyata benar!
Sheila menjadi lulusan terbaik. Ketika “Sheila Nabila” diucapkan, semuanya
bertepuk tangan. Tapi, dimana Sheila? Imran mulai gelisah karena dari tadi
tidak melihat Sheila.
Ada suara! Ada yang terjatuh! Keanu
menghadap pintu Aula dan, “Sheila! Kamu kenapa?” Sheila menangis terduduk di
lantai, handphone Sheila nampaknya juga habis terjatuh – peranti handphone Sheila
berserakan di depannya. Seketika Sheila bangkit dari duduk dan menuju podium
terisak-isak. Sheila mengambil microfon dan memulai pidatonya,
“Ini adalah hari dimana seluruh
hadirin yang terhormat dapat memanggil aku gila. Ini adalah hari dimana
orang-orang yang membenci tangisan dapat menghujatku. Tapi, aku benar-benar
bersyukur atas seluruh takdir yang Tuhan berikan. Bagaimana mungkin, aku bisa langsung
menangis di tengah lapangan sekolah melihat bapak ketua yayasan memeluk anak
beliau yang masih anak-anak. Bagaimana mungkin aku bisa percaya ayahku
meninggal di Singapura tanpa ada bukti yang kuat? Apa yang Tuhan rencanakan dibalik
meninggalnya Kakekku saat aku lulus SMP?
Apa karna ketika aku berumur tujuh belas tahun semua rahasia terbongkar? Kakek
tahu aku akan menjadi anak paling menyesal di dunia kalau sejak dini tahu ibuku
meninggal karena melahirkanku!
Kenapa aku bisa menangis? Karena aku
Lulusan Terbaik? Tidak! Bagaimana mungkin, ada seseorang yang Invite PIN BBM saya, dan langsung
mengirim Voice Note hingga tujuh
rekaman. Tahu darimana beliau? Kenapa beliau langsung mengirim Voice Note tanpa
salam perkenalan? Ataupun PING!. Aku benar-benar bisa mendengar suara manusia
di detik terakhirnya. Itu menyakitkan! Apalagi dia berkata bahwa ia adalah ibu
tiriku yang bertabrakan dengan nenekku. Nenekku sudah meninggal. Disusul
sepuluh menit kemudian, ibu tiriku yang meninggal, tepat ketika aku diumumkan
sebagai lulusan terbaik. Aku benar-benar sebatang kara! Siapa lagi yang
menemaniku di rumah?
Inilah momen yang paling menguras air mataku. Bagaimana
mungkin aku tidak menangis menerima kenyataan bahwa aku harus berpisah dengan
teman akrabku? Aku merasa kehilangan!
Seperti tahun sebelumnya, para lulusan terbaik
menceritakan perjuangan keras mereka bahkan dari Masa Orientasi Siswa. Iya,
disitulah perjuangan pertamaku! Aku berjuang untuk berbahagia melihat calon
sahabatku dipeluk oleh ayahnya atau dikecup keningnya oleh ibu mereka. Tuhan
benar-benar ingin menyadarkan aku bahwa motivasi hidup terbesar bukan dari
orang tua, tapi dari diri sendiri. Aku tidak tahan, ayah! Jangan diam duduk di
depan! Kemarilah! Sudah empat belas tahun kita berpisah, Ayah! Ibu telah
membongkar semuanya! Bisa gak kita langsung pergi ke rumah sakit sekarang
juga?!.”
Bapak ketua Yayasan langsung menghampiri Sheila
dan memeluknya. Beliau adalah ayahnya. Sheila memang gadis yang tangguh. Bahkan
ia mencintaimu tanpa harus mengenalmu terlebih dahulu. Ia tak segan bila harus
menjatuhkan air mata dan bertumpah darah jika melihatmu sekarat.