Laman

Kamis, 31 Juli 2014

Sheila: YES! I am Crazy!

Aku berlindung dari godaan syaitan yang terkutuk. Tuhan memberiku Nikmat yang luar biasa! Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin kita dustakan?

Mungkin ini tak segila dunia fantasi. Tapi, bagaimana mungkin ada perempuan menangis di tengah lapangan sekolah dan ditonton puluhan temannya? Ya! Dia Sheila Nabila, siswi kelas XII  di salah satu Sekolah Muslim ternama di negeri ini. Teman akrabnya pun tak berani mendekatinya, mungkin air mata Sheila berkata Biarkan aku sendiri dulu!.
Imran sangat heran, dia belum pernah melihat orang seunik ini. Well, Imran sebenarnya adalah kakak senior Sheila, tetapi Imran harus cuti satu tahun untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat sehingga Imran pun harus menjadi teman kelas Sheila di kelas XII.
“Dia tetap terlihat bersih ya, meskipun bajunya jorok kena debu” Imran memulai pembicaraan dengan temannya, Keanu.
“Haha... entahlah, itu cewe emang aneh” Keanu membalas
I’m crazy and I’m so proud!”, oh tidak! Sheila berbicara dengan keras dan lantang sambil tetap dalam posisi agak menunduk. Ok well, Keanu sudah mulai kikuk.
“Ya Ampun... Dia benar-benar mendengar dengan hati yang jernih, ya?” Imran sedikit menganga.
“Thanks ya buat pujiannya kak!” Sheila tetap bisa dengar meskipun suara Imran lebih pelan dari suara Keanu tadi. Seketika air mata Sheila berhenti. Dia menutup matanya sejenak, sambil mengucapkan sesuatu (... mungkin berkomat-kamit membaca mantra?) Sheila menarik nafas panjang tiga kali dan tadaa! Sheila membuka mata sambil senyum kepada jiwanya sendiri. Dia berjalan layaknya anak kecil yang bakal jadi pendekar wanita berkuda di masa mendatang. Teman-teman di sekolah terkejut melihat tingkah lakunya. Tapi itulah Sheila.
Tepat pukul 16.00, Sheila sampai di rumah. Ada secangkir teh yang masih hangat, pasti itu punya nenek!  Sheila mulai mengintrospeksi hari ini. Hari ini dia menangis di tengah lapangan untuk pertama kalinya. Jika kau bertanya padanya, tentu dia tak akan memberi tahumu meskipun kau adalah sahabat terdekatnya. Sheila memang begitu, bisa menangis sendiri secara tiba-tiba.
Sheila pergi keluar kamar, dan duduk di depan televisi tanpa ingin menyentuh tombol power.
“Hei! Ada cerita apa hari ini?” Nenek bertanya dengan nada ramahnya.
“Wah.. pasti seru nek, salah satunya Sheila dapat nilai 78 dalam Ujian Matematika bulan ini, nek!”
“Apa?!. Tujuh puluh delapan? Gak salah dengar?” Kalau soal ekspresi terkejut nenek yang lebai memanglah wajar. Biasanya Sheila mendapat nilai lebih dari 90 dalam Ujian Matematika, disamping teman sekelasnya mendapat nilai berkisar antara 75 dan 80 . Sekolah tempat Sheila belajar benar-benar memiliki standar yang tinggi dalam ilmu pengetahuan.
“Iya. Hihii!” Sheila tersipu malu.
“Sheila gak ada mulai pacaran kan?”
“Memulai cinta yang semu ya, nek? Enggak lah!”
“Trus kok bisa tujuh puluh delapan?
“Ya bisa dong, santai aja nek.. Kadang kita berada di bawah kok” Sheila pun menjawab sambil tersenyum.
Sheila melanjutkan, “Oh iya nek! Duduk sini dulu yuk! Sheila mau ngomong sesuatu”
Nenek pun berjalan mendekat, “Seperti ada yang ganjil nih!”
            “Sheila minta penjelasan tentang asal usul Sheila!”
“Asal usul apaan?” Mata nenek mulai was-was
            “Sheila gak puas kalau cuma tahu nama dan wajah dari foto ayah dan mama lima belas tahun yang lalu”
            “Mau Sheila apa? Kan sudah jelas nenek adalah ibunya mama kamu. Ayah meninggal di Singapura dalam perjalanan menuju bandara untuk pulang, mama dulu meninggal diiringi lahirnya adik kamu yang nyawanya juga gak bisa diselamatkan” Nenek berbicara sangat ekspresif dan Sheila menatap mata nenek selama beberapa detik.
            Seketika Sheila langsung memeluk nenek, bukan untuk menangis atau bersedih, tetapi Sheila bersyukur masih bisa hidup bersama nenek. Dan nenek pun tahu itu!
            “Kita gak pernah sendirian, ada Yang Maha Melihat”, Nenek meneteskan air mata dan langsung menghapusnya.
                                                            ...

            Sheila datang dengan ekspresi ceria – semua mata tertuju padanya. Sheila tak merasa risih sedikitpun. Tiba-tiba Imran datang, “Sheila! Semangat buat menempuh studinya ya!”
“Loh... kok tumben, kak? Tiba-tiba datang langsung ceplos gitu”
“Kan bagus, supaya kamu terbiasa dengan sesuatu yang tak terduga, hihi..”
Bel berbunyi, mereka berdua masuk kelas bersama, diiringi tatapan aneh Tiara yang duduk di bangku paling depan. Tentu saja, Sheila dan Imran yang selalu berpikir positif tak menyadari itu – sehingga mereka tidak membuang aura cerah mereka.
            “Ya ampun, 2 bulan lagi udah Ujian Nasional loh!” Febby berkata dengan ekspresi uniknya.
            “Kita sih rapopo” Keanu berkata dalam ekspresi datar – anehnya kenapa satu kelas bisa tertawa ya?
            “Aku yakin! Nanti Tiara dan Sheila bakalan dapat nilai sepuluh dalam matematika, kak Imran di bahasa inggris” Ayu berkata di tengah kelas dan menjadi sorot perhatian.
            “Ahh! Pasti kita semua dapat yang terbaik kok!” Imran berkata dengan lugas.
            Satu kelas berteriak, “Aamiin!”
Bapak ketua yayasan melewati koridor sekolah – seketika suasana kelas menjadi hening.
            “Ehh! Sheila...” Febby ingin mengatakan sesuatu yang ia sendiri tak tahu apakah ini kabar gembira atau kabar sedih untuk Sheila
            “Iyo, Feb?” Sheila menjawab dengan santai.
            “Ahh... gak jadi deh!” Febby memaksakan diri untuk tertawa.
            “Haah! Jangan jadi misterius kaya kak Imran ya, Feb!”
            “Apa?” Imran mendengar percakapan mereka
            “Adaww! Imran bukan misterius! Bahasa Imran terlalu tinggi dan bermakna, jadinya bocah kaya lu pada gak ngerti. Hahaa!” Keanu berkata dengan keras – Yakinlah! Bapak ketua yayasan mendengar.
            “Waduh! Si bapak berhati malaikat udah pergi belum?” Ayu bertanya meskipun ia sendiri tahu kalau Bapak ketua yayasan yang ia juluki bapak berhati malaikat sudah pergi.
           
                                                            ***
            Hujan turun menyamarkan suara bel pulang sekolah. Tapi, pelajar mana yang tidak tanda dengan khas bunyi bel istirahat sekolahnya? Murid yang tak sedia payung, mantel, dan jemputan mobil sebelum pulang masih berada di sekolah karena dihambat hujan.
            “Hujan itu indah, tapi jadi susah untuk pulang nih!” Sheila berbicara kepada Febby.
Tetapi Imran yang menjawab, “Mungkin ada takdir fantastis yang tak akan kita dapatkan kalau kita sekarang juga sudah dalam perjalanan pulang”
            Bibir Febby, Ayu, Keanu dan Sheila dikunci rapat oleh perkataan Imran yang dalam.
Disaat yang lain menatap hujan dari koridor, Keanu menoleh ke belakang, Tiara masih duduk sendirian di bangkunya, “Ehh.. Tiara! Ngapain disitu? Mau nyusun rencana buat ngejatuhi Sheila?”
            Tiara membanting buku! Tak segan-segan kursi pun ditendangnya! Tiara menatap tajam Keanu. Teman yang menunggu di depan kelas terkejut
            “Ehh.. apa-apaan ini?” Ayu datang menghampiri Tiara
“Jangan dekat-dekat!” Tiara berkata ketus.
            “Santai aja! Ayu itu banyak fansnya, seharusnya kamu yang jangan dekat-dekat ke dia!” Untuk pertama kalinya, Febby berkata dengan nada yang sangat tinggi.
            “Udahlah...” Mata Sheila mulai berkaca-kaca
            Imran mengambil bagian, “Aku gak tahu apa yang terjadi satu tahun yang lalu di kelas kalian. Tapi kenapa waktu itu Tiara ngambil buku Bahasa Indonesia milik Sheila diam-diam dan membasahi dengan air lalu dibuang ke tong sampah. Lalu, kenapa Tiara bohong ke Sheila kalau waktu itu akan ada ulangan matematika yang satu hari sebelumnya sudah diumumkan saat pulang, tepatnya saat Sheila sedang di toilet”
            “Di kelas XI kertas ujian Fisika Sheila dirobek sama si cewek ini!” Ayu membuat Tiara makin takut.
            “Hahaa.. bisa jadi semester lalu nilai rapor Sheila dikasih bumbu modifikasi. Kan, yang menulis nilai rapor dia! Kaya gini ya murid kepercayaan wali kelas?” Keanu menimpal.
            Tiara melempar buku ke kepala Keanu.
“Udahh!!! Jangan buat suasana tegang kaya gini!” Sheila berteriak.
            Dengan emosi luar biasa, Tiara membuka tutup botol minuman dan.... Sheila sudah basah kuyup di siram Tiara dan seketika itu Tiara melempar botol sekeras mungkin ke wajah Sheila.
            “Hei!” Ayu dan Febby berteriak, Tiara kabur. Seketika Keanu berlari memeluk kaki Tiara dan mereka berdua terjatuh. Siku Keanu dan dagu Tiara berdarah.
Febby mengambil kendali tangan Tiara dan tak ada yang menyangka Febby bisa seagresif ini.
            “Lepasin! Apa mau kalian?” Tiara berteriak kesakitan, Ayu juga ikut memegangi Tiara.
“Aduh.. gak pakai kekerasan kaya gini juga!” Imran mulai mengalirkan rasa paniknya.
            “Kalian gak akan ngerti!” Tiara semakin ganas
            “Biarkan Tiara bicara!” Imran membuat keputusan bijak.
“Aku gak mau hidup kaya gini” Tiara mulai diam seiring air matanya mengalir.
            “Sheila bisa mendapatkan apapun! Tapi, aku enggak!” Tiara menangis dan teriak – dua tiga orang mendekat. Ayu dan Febby melepaskan pegangannya ke tubuh Tiara. Tiara pun mengambil posisi duduk bersandar.
            “Aku juga mau liburan ke luar negeri kaya Febby, aku juga mau disukai banyak orang lebih dari Ayu, aku juga mau mendapat banyak sahabat seperti Keanu” Tiara mencurahkan isi hatinya semakin dalam – Keanu, Febby, dan Ayu bertatapan satu sama lain.
            Tiara melanjutkan, “Aku juga mau kaya Sheilaaa!!!” Tiara menangis semakin keras.
“Semua orang sayang Sheila meskipun dia agak aneh, semua laki-laki yang aku suka pasti dekat dengan Sheila. Sheila punya banyak prestasi dan mendapat beasiswa. Kalau ada kerja kelompok pasti semua berdoa supaya bisa bergabung dalam satu tim dengan Sheila...... “
            “Karena dia membangkitkan semangat?” Imran tahu apa yang harus ia katakan.
“Lebih dari itu! Semua orang juga pasti sayang dia! Kalaupun dia tak punya prestasi akademis sedikitpun, ataupun kecantikan wajahnya hilang!. Tapi kalau aku? Meskipun aku jenius tetap gak ada yang nyayangi aku” Tiara menangis keras hingga orang-orang berdatangan.
            Sheila menarik nafas yang dalam, “Tapi aku tidak sepertimu. Yang memiliki orang tua yang lengkap, punya kakak dan adik yang sepasang. Kamu memiliki keluarga yang utuh. Sejak kecil aku sudah kehilangan orang tua, ibuku meninggal di usia tiga tahun, lima bulan kemudian ayahku dipanggil Tuhan. Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin kamu dustakan?”
            Semuanya hening, sepertinya Imran dapat inspirasi baru dalam proyek menyelesaikan Novel Fantasinya.

                                                            ***

            Ketika kamu menikmati, tanpa sadar waktu berlalu begitu cepat. Seluruh ujian kelulusan sudah berlalu, hari ini adalah acara perpisahan dan kelulusan Tiara sudah memiliki pola hidup baru, Imran mendapatkan beasiswa penuh di universitas ternama milik Singapura. Sheila, Febby, Ayu dan Keanu lulus SNMPTN dan kuliah di kota yang sama.
            Di depan masjid sekolah, Sheila duduk sendirian – kini berdua, setelah Imran menghampiri.
            “Kenapa disini? Lulusan terbaik bakal memberikan pidato nanti tuh!”
“Handphone Sheila, mmm... lagi di charger di dalam masjid, duluan aja, kak”
            “Oke! Beri yang spektakuler ya!” Imran berjalan cepat menuju aula.

            Sudah lima belas menit acara berlalu, mungkin satu menit lagi adalah pengumuman lulusan terbaik. Ternyata benar! Sheila menjadi lulusan terbaik. Ketika “Sheila Nabila” diucapkan, semuanya bertepuk tangan. Tapi, dimana Sheila? Imran mulai gelisah karena dari tadi tidak melihat Sheila.
            Ada suara! Ada yang terjatuh! Keanu menghadap pintu Aula dan, “Sheila! Kamu kenapa?” Sheila menangis terduduk di lantai, handphone Sheila nampaknya juga habis terjatuh – peranti handphone Sheila berserakan di depannya. Seketika Sheila bangkit dari duduk dan menuju podium terisak-isak. Sheila mengambil microfon dan memulai pidatonya,
            “Ini adalah hari dimana seluruh hadirin yang terhormat dapat memanggil aku gila. Ini adalah hari dimana orang-orang yang membenci tangisan dapat menghujatku. Tapi, aku benar-benar bersyukur atas seluruh takdir yang Tuhan berikan. Bagaimana mungkin, aku bisa langsung menangis di tengah lapangan sekolah melihat bapak ketua yayasan memeluk anak beliau yang masih anak-anak. Bagaimana mungkin aku bisa percaya ayahku meninggal di Singapura tanpa ada bukti yang kuat? Apa yang Tuhan rencanakan dibalik meninggalnya  Kakekku saat aku lulus SMP? Apa karna ketika aku berumur tujuh belas tahun semua rahasia terbongkar? Kakek tahu aku akan menjadi anak paling menyesal di dunia kalau sejak dini tahu ibuku meninggal karena melahirkanku!
            Kenapa aku bisa menangis? Karena aku Lulusan Terbaik? Tidak! Bagaimana mungkin, ada seseorang yang Invite PIN BBM saya, dan langsung mengirim Voice Note hingga tujuh rekaman. Tahu darimana beliau? Kenapa beliau langsung mengirim Voice Note tanpa salam perkenalan? Ataupun PING!. Aku benar-benar bisa mendengar suara manusia di detik terakhirnya. Itu menyakitkan! Apalagi dia berkata bahwa ia adalah ibu tiriku yang bertabrakan dengan nenekku. Nenekku sudah meninggal. Disusul sepuluh menit kemudian, ibu tiriku yang meninggal, tepat ketika aku diumumkan sebagai lulusan terbaik. Aku benar-benar sebatang kara! Siapa lagi yang menemaniku di rumah?
Inilah momen yang paling menguras air mataku. Bagaimana mungkin aku tidak menangis menerima kenyataan bahwa aku harus berpisah dengan teman akrabku? Aku merasa kehilangan!
Seperti tahun sebelumnya, para lulusan terbaik menceritakan perjuangan keras mereka bahkan dari Masa Orientasi Siswa. Iya, disitulah perjuangan pertamaku! Aku berjuang untuk berbahagia melihat calon sahabatku dipeluk oleh ayahnya atau dikecup keningnya oleh ibu mereka. Tuhan benar-benar ingin menyadarkan aku bahwa motivasi hidup terbesar bukan dari orang tua, tapi dari diri sendiri. Aku tidak tahan, ayah! Jangan diam duduk di depan! Kemarilah! Sudah empat belas tahun kita berpisah, Ayah! Ibu telah membongkar semuanya! Bisa gak kita langsung pergi ke rumah sakit sekarang juga?!.”
Bapak ketua Yayasan langsung menghampiri Sheila dan memeluknya. Beliau adalah ayahnya. Sheila memang gadis yang tangguh. Bahkan ia mencintaimu tanpa harus mengenalmu terlebih dahulu. Ia tak segan bila harus menjatuhkan air mata dan bertumpah darah jika melihatmu sekarat.



Selasa, 01 Juli 2014

Datang dan Pergi

 Aku benar – benar ingin mati. Bukan karena putus asa, bukan karena aku menderita, tetapi karena aku sangat ingin berhenti berjalan, ataupun melihat semua ilusi yang ada di dunia fana ini. Tapi, Emily? Tidak... aku tak akan pernah mau meninggalkannya. Adikku, Emily harus tetap hidup meskipun dia buta. Dibalik kebutaan Emily, dia memiliki hati yang dapat merasa sesuatu dengan jernih.
            “Tristan?”
            “Tidurlah dahulu, aku tidak ingin tidur sekarang” Emily pasti memastikan apakah aku sudah tidur atau belum. Emily terdiam di tempat tidurnya, kami berada dalam satu kamar tetapi tidur di ranjang yang berbeda.
                                                            ...
Aku mencoba tidak panik. Meskipun beliau sudah tiada selama tujuh tahun terakhir, aku masih benar – benar ingat keteduhan dan ketenangan hati Ayah yang membuatku terinspirasi. Manusia selalu mendapat takdir yang baik, pikiran dan perasaan kitalah yang membuatnya buruk.
            Emily menghilang! Dia tidak berada di tempat tidur. Kemana gadis kecilku? Anak berumur dua belas tahun dalam kondisi buta tak mungkin dibiarkan saat fajar begini.
            “Emily?!!!!..” aku berteriak di depan pintu rumah.
            “Dia menangis” bibi Kane muncul sambil berkata lirih kepadaku – sepertinya ada air mata yang terbendung. Dia berjalan mendekatiku, “Doakan ibumu selamat, nak... maaf aku terlalu tua untuk mengejar adikmu, percayalah mata hatinya tak akan membuatnya tersesat, aku harus mengurus suamiku yang sakit dan ketiga cucuku”
            “Terima kasih atas segalanya bibi Kane”, aku berusaha menutupi kepanikan – tapi pasti mataku tetap menunjukkannya.
            Aku berlari menuju pantai yang jaraknya hanya dua ratus meter dari rumah, lampu kafetaria di sekitar pantai ini pun belum hidup. Aku tidak tahu kenapa aku rinduku sedang menggebu – gebu kepadanya, biasanya sehabis bangun tidur aku melihat wajahnya, tapi sekarang tidak – seperti ada yang kurang. Aku termotivasi bukan karena takut Emily akan tersesat, diganggu oleh orang jahat yang biasa berada di bar sekitar pantai sepanjang malam, ataupun kecelakaan ketika menyebrang – aku benar – benar merindukannya.
            “Tristan!” syukurlah, Emily masih selamat dan anehnya dia memanggil dari belakangku, aku menoleh dan mengikutinya – sampai akhirnya aku sadar, bahwa itu khayalan, aku tak sadar aku menyebrang, sebuah mobil truk siap menabrakku.

                                                                        ...

            Aku terbangun dan tentu saja ruangan yang seperti ini hanya ada di rumah sakit.
“Tentu semua ada hikmahnya”, astaga – aku terharu mendengar suaranya yang penuh cinta.
            “Ibu!” air mataku menetes deras, empat hari tidak bertemu dengan Ibu, rindu ini terbendung.
            “Tepat hari ini, seseorang meninggal di rumah sakit ini, dia pernah berwasiat jika di hari dimana ia meninggal ada seorang pasien ataupun pengunjung yang buta, maka ia bersedia matanya di donorkan. Emily sedang di operasi, nak!”
            Berita itu membakar rasa sakit yang membakar tubuhku. Aku benar – benar tak terbakar rasa sakit lagi!
            “Selamat ulang tahun yang ke lima belas, Tristan” rambut coklatku dibelai, aku makin bahagia. Aku menutup mata, berdoa dan berharap. Membuka mata dan.... kenapa orang – orang yang kusayang menghilang? “Ibu!!!!”
            Seorang dokter datang kepadaku, “Maaf... Ibu anda sudah memberikan matanya kepada adik anda, siang tadi bus yang ibu anda tumpangi kecelakaan, anda harus sabar menerima takdir bahwa ibu anda satu – satunya korban jiwa dalam kecelakaan itu.