Laman

Minggu, 29 Maret 2015

Petir Biru Gelap


           Karya : Dzikra Handika

Sumber gambar : alhudaduabisa.blogspot.com
               Seluruh siswa di sekolah sudah mengerti. Kalau sesuatu yang aneh terjadi, itu pasti karena ulah Alwi. Ia tidak liar, hanya saja sangat aneh. Aneh bukan dalam tingkah lakunya, tapi apa yang ia katakan selalu membuat orang lain menjauh darinya, terhipnotis, ataupun tersentak. Percaya atau tidak, seluruh siswa kelas 9-7 menghilang! Dan sekarang Alwi sedang duduk sendirian di ruang kepala sekolah karena ia dianggap sebagai tersangka atas kasus ini.
            “Lihatlah pak! Dia benar-benar aneh”, Bu Ratna bersama bapak Kepala Sekolah sedang mengintip tingkah laku Alwi dari celah pintu yang sedikit terbuka. Apapun yang Alwi lakukan, tetap saja aneh di mata ibu Ratna. 
            Bapak Kepala Sekolah langsung memasuki ruangan, sambil berjalan ia menatap Alwi, “Baiklah, Alwi bisa kamu jelaskan kepada bapak kenapa seluruh guru di sekolah mengatakan bahwa kamu penyebab siswa kelas 9-7 menghilang?!”
            “Mereka sedang berbahagia pak! Jangan paksa saya mencari mereka pak!”
“Saya hanya bertanya kenapa kok kamu jawabnya lain?!” Kepala Sekolah memberi isyarat kepada ibu Ratna agar masuk ke ruangan.
            “Jangan pak! Ibu Ratna sekarang lebih nyaman mengintip kita pak!” Mendengar itu, ibu Ratna langsung pergi menjauh.
            Kepala sekolah menarik nafas panjang, “Oke!”.
“Boleh saya meminta satu permintaan pak?” Alwi duduk sangat rapi dan berbicara sangat teratur.
“Iya, apa itu?!”
“Tolong bapak jangan membayangkan coklat!” Alwi betatapan dengan Kepala Sekolah selama beberapa detik.
“Oke, baik! Bapak tadi sedang membayangkan coklat, kan?”, Alwi berekspresi seolah sudah dewasa. Ekspresi itu membuat kepala sekolah bingung harus berkata apalagi.
“Hmmm...”, kepala sekolah merapikan kemeja biru berlengan panjang yang ia pakai. “Jadi, apa yang membuat siswa kelas 9-7 bahagia, padahal kan mereka menghilang?!”
“Karena mereka bosan belajar di kelas, pak. Intonasi guru mengajar tidak cukup memenuhi kepuasan kita belajar. Kita senang berekreasi atau terjun langsung ke lapangan untuk penelitian, paling tidak melakukan praktek.
“Lalu, mereka sedang dimana?!”
“Mereka sedang rapat untuk demo ke sekolah dan orang tua masing-masing.”
“Apa?!” Keringat dingin keluar dari kulit coklat pak kepala sekolah. “Kalian masih kelas IX SMP, kok sudah berani demo?!”
“Karena kita udah gak tahan lagi, pak!”, Alwi menghirup nafas panjang. “Kita capek menghadapi kelas yang membosankan pak”
“Emang seberapa membosankan guru-guru di sekolah kita?!”
“Lho, kita kok bicaraiin tentang guru, pak? Kan, bapak memanggil saya kesini supaya mencari tahu kenapa guru-guru menyalahkan saya?”
Bapak kepala sekolah menyadarkan dirinya, “Mmm... Oke. Jadi apa penyebabnya?”
“Mungkin, karena saya yang mempengaruhi pikiran mereka”
Kepala Sekolah tersentak, “Ha? Bagaimana caranya?”
“Atas izin Tuhan”, jawaban Alwi membuat keheningan sejenak.
Bapak kepala sekolah mencoba untuk sabar menghadapi setiap jawaban yang Alwi berikan. “Baiklah, apa yang kamu lakukan sehingga Tuhan mengizinkan semuanya terjadi?”
“Dengan memikirkan bahwa ini semua sudah terjadi. Mmm... ya gitu, seolah saya hanya memperankan skenario”
“Maksud saya, apa yang kamu katakan saat mempengaruhi teman sekelasmu?!”
“Saya hanya berdiri di depan kelas, lalu melontarkan tiga pertanyaan”
“Pertanyaan apa saja itu?”
“Yang pertama, ‘Apakah nilai rapor yang tinggi di ijazah menentukan seberapa besar uang penghasilan yang mereka dapat nanti?’”
“Lalu, mereka jawab apa?!”
“Untuk di pertanyaan pertama, satu orang dari mereka menjawab.”
“Apa katanya?”
“Dia bilang bahwa setidaknya itu adalah ukuran seberapa dalam ilmu kita. Semakin banyak ilmu, semakin mudah melakukan apa saja dan menjadi orang profesional yang berpendapatan tinggi.”
“Iya, bapak juga setuju dengan itu!”
“Tapi satu detik kemudian dia mmm... namanya Sarah, memperbaiki kalimatnya sendiri. Dia bilang selama nilai itu diperoleh secara jujur. Ataupun ketika memperoleh nilai itu, kita tidak sekedar menghapal jawaban dari soal ujian, tapi memahami jawaban itu. Setelah itu Sarah, diikuti teman oleh satu kelas terdiam. Saya yakin, karena setiap orang dari kita pernah mencontek. Bahkan, separuh dari kelas pasti mencontek setiap kali ada ujian.” Alwi menjawab dengan teratur
“Mmm... Iyaaak”, Bapak kepala sekolah tidak bisa mendefinisikan pikiran apa yang sedang berada di benaknya.
“Lalu, saya memberikan pertanyaan kedua, ‘Apa kalian bahagia dan ikhlas saat belajar?’. Fany mengatakan kalau ia bahagia ketika sedang belajar. Anehnya, Marthin yang menjadi peringkat pertama di kelas tidak menjawab. Citra juga begitu, mmm... Citra peringkat dua.”
“Bagaimana dengan peringkat ketiga terbaik di kelas kalian?”
“Fany adalah siswa terbaik nomor tiga pak.” Pak Kepala Sekolah menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana dengan pertanyaan ketigamu, nak?”
Alwi terdiam, mempersiapkan diri untuk bicara. “Saya bertanya kepada mereka, ‘Apakah bapak kepala sekolah suka makan pecal?’”
“Apa? Pertanyaan macam apa itu?”
Alwi tak menghiraukan, “Mereka bilang, bapak sangat suka pecal buatan bi Soimah”
“Dari mana kalian tahu?” Bapak kepala sekolah terkejut.
Alwi berdiri dan menghampiri bapak kepala sekolah yang tengah mencari tahu apa yang Alwi lakukan. Ternyata, Alwi menghampiri pak Kepala Sekolah dan meletakkan tangannya di bahu pak kepala sekolah, lalu menggoyangkan badannya sekuat mungkin.
Bapak kepala sekolah heran, “Lho? Apa yang kamu lakukan?!”
Wajah Alwi merah padam dan seketika Alwi berteriak kencang, “Pecal! Bangun! Pecal!”
            “Alwi! Apa-apaan kamu?!” Pak kepala sekolah melepaskan tangan Alwi yang semakin kuat memegang bahu kepala sekolah. “Sadar kamu nak!... Sadar!” Pak Kepala Sekolah mengira Alwi sedang kesurupan.
            Alwi tetap berteriak, “Bangun! Pecal! Bangun!”
            “Sadar, nak! Sadar!” pak Kepala Sekolah ikutan berteriak.
            “Pecal!... Habis!... Pecal!” Alwi berteriak namun suaranya berubah menjadi suara wanita. Tunggu dulu! Itu suara istri pak kepala sekolah.
            Seketika pak Kepala Sekolah terjatuh dari kursi.
“Pa!... Bangun... Itu ada pecal, ntar habis dimakanin Aidil dan Said pa! Mama cuma beli dua bungkus aja tuh!”, sedari tadi istri pak Kepala Sekolah membangunkan suaminya yang sedang tidur siang.
            “Oh... Iya ma!”, pak Kepala sekolah menyadarkan dirinya.
            “Buruan ya!”, istri pak Kepala Sekolah pergi meninggalkannya sendirian di kamar.

            Kemarin, Alwi siswa kelas 9-7 di SMP yang dipimpin pak kepala sekolah menghilang. Ada yang bilang bahwa ia diculik. Alwi sangat terkenal di sekolah. Meskipun ia masih menggunakan celana biru gelap untuk bersekolah, tetapi pemikirannya seperti orang dewasa. Tak jarang pak Kepala Sekolah selalu meminta saran dari Alwi untuk memberdayakan potensi sekolah. Kehilangan Alwi membuat pak kepala sekolah selalu memikirkannya sampai ke alam mimpi.